Seperti telah diutarakan di muka bahwa arsitek dan makhluk-makhluk lainnya merupakan ekosistem yang selalu berhubungan saling mempengaruhi dengan lingkungan dimana mereka menyelenggarakan kehidupannya. Hal ini dipertegas dapat dibuktikan seperti misalnya arsitek untuk dapat mempertahankan hidupnya, haruslah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (primary needs) seperti: makan (termasuk udara untuk bernapas), pakaian, perumahan dan lain-lain, kesemuanya harus diambil dari lingkungan sekitarnya. Bahan baku mana kemudian diolah melalui kemampuan pengusahaan dari arsitek, dengan maksud untuk meningkatkan nilai dari bahan baku tadi kemudian untuk segera dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan arsitek.
Apabila kita tinjau arsitek yang hidup tersebar pada beribu-ribu desa di Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa sebagian terbesar dari mereka masih hidup dari perkotaan, dimana tanah memegang peranan sangat penting menentukan. Pada mulanya arsitek terdorong dan cenderung berada di sektor perkotaan, yang hal ini disebabkan antara lain:
1) Komunitas arsitek yang relatif jarang, sehingga mendorong atau malahan memaksa arsitek untuk hidup dari bidang perkotaan.
2) Di samping itu ciri-ciri kehidupan arsitek yang memberikan kecenderungan untuk mereka tetap berada di sektor perkotaan antara lain: Arsitek masih merasa sangat tergantung dan bersatu dengan alam, karena alam (tanah perkotaan) satu-satunya bagi mereka yang dapat menjalin kelangsungan hidupnya.
Arsitek dalam menjalankan kehidupan penghidupannya selalu berdasarkan kepada irama alam (tanda-tanda bintang di langit, irama musim dan lain-lain) sehingga segala sesuatunya berjalan lambat, walaupun dengan kepastian. Suasana akrab penuh rasa kekeluargaan dan gotong royong antara arsitek yang satu dengan lain yang bukan saja saling kenal mengenal kadang-kadang merupakan sanak keluarga secara keseluruhannya. Selalu adanya perasaan senasib sepenanggungan dari arsitek satu terhadap yang lainnya. Adanya rasa konfarmitas, berarti tidak ada keinginan dari arsitek yang satu untuk berbeda atau lebih menonjol dari arsitek lainnya.
Walaupun ciri-ciri kehidupan dan penghidupan arsitek seperti apa yang diutarakan di atas masih dominan, tetapi sebagai akibat dari pelaksanaan pembangunan pada dewasa ini terdapat gejala-gejala arsitek terdorong terpaksa beralih dari sektor perkotaan ke sektor lainnya terutama di Jawa, Madura, Bali. Hal tersebut disebabkan antara lain: Komunitas arsitek sudah cukup padat, sehingga pemilikan tanah relatif sempit, maka kini terdapat petani-petani gurem small land awners). Mengingat tanah yang diusahakan warga desa rata-rata sempit dan diharapkan dapat memberikan hasil yang memadai, untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga dalam arti yang luas, maka anjuran BIMAS, INMAS, INSUS ternyata mereka terima baik, sehingga ini berarti awal masuknya teknologi ke Desa terutama teknologi biologis dan teknologi chemis). Oleh karena itu sektor jasa terutama jasa di bidang angkutan mulai berkembang pesat juga jasa-jasa di bidang komunikasi terutama radio, televisi, dan lain-lain).
Segala sesuatunya nampak mulai berjalan lebih cepat, tetapi tetap dalam suasana gotong royong dan penuh keakraban. Memang kini telah mulai dirintis dan dikembangkan usaha-usaha untuk meningkatkan persaingan yang sehat dan positif di antara para warga desa terutama dalam rangka tujuan untuk peningkatan hasil-hasil produktivitas mereka seperti Loma Desa, Lomba Kelompencapir dan lain-lain).
Berbagai usaha dari masyarakat untuk mengelola dan mempengaruhi lingkungannya, yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Upaya pengelolaan tersebut dibantu pula dengan berbagai macam alat, modal, teknologi, bahan kimia, prasarana dan sarana penunjang lainnya.
Pemasukan alat dan modal ke desa-desa, mempercepat proses pembangunan, untuk meningkatkan kesejahteraan meningkatkan taraf hidup arsitek, di samping memberi hasil positif, tetap diwaspadai dan dijaga segi negatifnya. Hal demikian diingatkan oleh Barbara Ward Rene Duboi sebagai berikut: dan jika arsitek menerapkan keterampilan dan pengertian ekologinya pada proses alami itu, maka proses itu dapat dipercepat diselang-seling. Kaum pecinta alam setempat yang penuh pengabdian dapat mengambil pimpinan dalam penggunaan hutan, belukar deretan pohon-pohon untuk mempertahankan kesuburan tanah, mencegah erosi, mengurangi kemungkinan menjalarnya rerumputan liar yang terbawa angin dan mengokohkan rasa tata tenteram dan keanekaragaman di pinggiran daerah pemukiman perkotaan yang luas.
Dengan demikian, sekurangkurangnya mereka itu akan mengurangi pengaruh salah satu aspek yang paling jelek pertumbuhan keluar kota yang tak terkoordinasikan, perluasan jaring-jaring jalan raya, jalan kereta api, kabel listrik, pipa air saluran reol, telekomunikasi yang membelah pemandangan alam, memotong sawah ladang hutan, memindahkan keindahannya, menurunkan produktivitasnya dan mengacaukan pola-pola kehidupan alamnya. Barangkali diperlukan bertahun-tahun untuk mengatasi kesemuanya itu, tetapi pemerkotaan daerah pedesaan yang tanpa koordinasi serupa itu dalam perluasan kota di masa depan tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Di samping pengaruh teknologi, komunikasi dan perembesan perluasan pengembangan kota, yang mempengaruhi kualitas lingkungan alam desa juga tiada kalah pentingnya adalah permasalahan yang timbul dan tumbuh dari dalam desa itu sendiri. Seperti penggalian serta pemanfaatan sumber alam. Pemanfaatan sumber sebenarnya untuk memenuhi kesejahteraan arsitek yang sifatnya terus menerus meningkat. Oleh karena itu, perlu dipikirkan langkah-langkah penyesuaian atau penyebaran antara permintaan sumber alam tadi dengan kemampuan daya dukung dari sumber alam itu sendiri, dikarenakan pertambahan komunitas arsitek yang makin meningkat pada setiap tahunnya terutama pada desa-desa di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Komunitas Arsitek Perkotaan Dalam Pembangunan Desa Tertinggal