Oleh karena petani sendiri suka tidak cukup waktu mencari rumput, anak yang disuruh sehingga tidak dapat sekolah, sungguhpun demikian ternak biasa kekurangan rumput dan rumputnya rendah mutunya. Akibatnya pertumbuhan ternaknya lambat dan menjadi kerdil-kerdil sungguhpun Jawatan Peternakan giat sekali berusaha memajukan bibit ternak. Yang menambah buruk lagi keadaan, semua petani berusaha ada ternak yang dipeliharanya untuk sekedar menambah penghasilan yang terlalu minim, akibatnya lebih terlalu banyak lagi ternak dibanding persediaan rumput.
Dalam prasarana bagi simposium yang diselenggarakan Direktorat Jendral Peternakan tahun 1971 di Ciawi, penulis menghitung bahwa oleh cara-cara bekerja memelihara ternak yang terpaksa sama sekali tidak effisien demikian, petani di Madura memperoleh hasil dari ternaknya per jam kerja hanya 1/400 hasil yang diperoleh petani peternak sapi perah di Selandia Baru. Perlu pula diperhatikan bahwa sebagian ternak yang dipelihara itu bukan milik sendiri tapi milik orang lain dengan perjanjian bagi-hasil dengan kebiasaan setengah hasil bagi pemilik.
Oleh kemunduran cara-cara bekerja, demikian menjadi dibawah tingkat cara-cara bekerja nenek-moyang, sungguhpun biasa lebih lama dan lebih berat bekerja daripada pekerja normal, hasil tidak cukup untuk menjamin kebutuhan primer pun. Berarti tiap tahun kekurangan makan atau kelaparan sungguhpun tahunnya normal, tidak sedang ada musim kemarau yang ganas atau lain malapetaka. Perlu disadari betul bahwa kemunduran. Cara-cara bekerja menjadi dibawah tingkat nenek moyang itu terjadi secara terpaksa. Rumah tahu cara-cara bekerja yang lebih effisien, tapi oleh karena keadaan memaksa terpaksa mengerjakan pekerjaan dengan cara-cara bekexja dibawah tingkat nenek moyang.
Tapi sungguhpun rumah selalu giat berusaha mencari pekerjaan (perut yang lapar tidak dapat menunggu), oleh karena rumah sudah sangat terlalu banyak di pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur dan Sumbawa, terpaksa sebagian kurang jam kerja. Berarti rumah dapat dibagi atas dua golongan, yang lebih jam kerja dan yang kurang jam kerja daripada normal. Yang tergolong terakhirlah yang biasa paling buruk kehidupannya diantara rumah.
Keadaan khas rumah seperti yang diuraikan diatas masih umum tidak gatau kurang menyadari. Tahun 1969 waktu baru menjabat Ketua Unit Pangan dan Gizi Deparemen Pertanian, mendapat kunjungan pimpinan Regional Urusan Kesejahteraan Keluarga FAO berkedudukan di Bangkok, Miss Crowley. Oleh karena Indonesia sudah lama tidak ada hubungan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai akibat boikot oleh Presiden Soekarno, penulis merasa wajib menguraikan terlebih dahulu mengenai bagaimana buruknya keadaan rakyat di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, sebagai pertimbangan untuk memperoleh bantuan. Kemudian diadakan kunjungan ke daerah-daerah yang paling parah, yakni daerah Jogyakarta dan Jawa Tengah.
Sepulangnya dad kunjungan, Miss Crowley mengatakan kepada penulis: ”Saya harus memberi selamat kepada anda, saya optimis dengan negara anda, yang penting ialah rajin bekerja, saya lihat rakyat anda rajin bekerja” (I must congratulate you, I am optimistic with your country, what is important is to be di1igent,I see all your people are diligent).
Pejabat tinggi FAO belum menyadari bahwa yang disebutnya rajin bekerja itu sudah berpuluh tahun dilaksanakan, sungguhpun demikian tidak ada kemajuan, sebaliknya yang terjadi, makin buruk keadaan. Hal ini terjadi oleh karena rajinnya bukan rajin yang biasa tapi rajinnya rumah. Rajin yang biasa memberikan kelebihan hasil bagi pengumpulan modal untuk kemajuan dan meningkatkan penghasilan. Tidak demikian dengan rajinnya rumah, hasilnya untuk kebutuhan primer saja tidak cukup, bagaimana dapat maju. Dengan lain perkataan, ajaran nenek moyang yang kebenarannya dibuktikan oleh pengalaman, yakni rajin pangkal kaya, tidak berlaku disini.
Seperti yang akan khusus diterangkan kemudian (Lihat Bab V) banyak usaha memperbaiki keadaan di negara-negara terbelakang tidak berhasil bahkan dapat justru mempunyai pengaruh menambah buruk keadaan, oleh karena konsep-konsepnya selama ini, banyak telah dibuktikan kebenarannya sejak zaman nenek moyang, tidaklah berlaku pada golongan rumah penduduk yang paling memerlukan perbaikan, yakni rumah, melarat dan kelaparan. Mereka tersingkir dari kehidupan normal, ajaran-ajaran normal memperbaiki tidak belaku, gejala baru yang di Zaman sebelum modern tidak terdapat, akibat negatif kemajuan modern sendiri dan usaha yang baik.
Seorang ahli luar negeri (Clifford Geertz) yang banyak meninjau masalah-masalah negara-negara terbelakang, mengintroduksi istilah agricultural involutiori (involusi pertanian), menunjukkan pengertian yang lebih maju mengenai negara-negara terbelakang tapi belum lengkap. Involusi artinya mundur ke tingkat semula, disini bukan mundur ke tingkat semula tapi lebih rendah lagi, menjadi mundur dibawah tingkat cara-cara bekeria nenek moyang, lebih tepat dikatakan sub-involusi, sub aksinya dibawah, menjadi sub-involusi pertanian. Sub-involusi pertanian ialah cara-cara bercocok tanam yang lebih rendah daripada cara-cara nenek moyang atau lebih rendah daripada cara-cara sebelum zaman modern.
Untuk meliputi juga usaha-usaha yang lebih umum, berarti juga di luar bidang pertanian, dapat dipergunakan istilah sub-involusi teknologi. Contoh-contoh utama sub-involusi teknologi seperti yang diuraikan sebelumnya. Selain sub-involusi pertanian dan umumnya sub-involusi teknologi ada juga sub-involusi gizi, yakni keadaan gizi yang lebih buruk daripada nenek moyang. Juga terjadi secara terpaksa secara naluri tahu menjamin gizi yang cukup baik, bila tidak demikian tidak akan ada manusia dan tidak akan ada pula makhluk, tapi oleh karena keadaannya memaksa, yakni menjadi pengangur tak kentara, berarti melarat, terpaksa makanannya lebih merosot jumlah maupun mutunya daripada di Zaman nenek moyang.
Nenek moyang sudah mengenal beras sebagai makanan pokok, enak dan tidak pernah membosankan. Selain itu dipandang dari sudut gizi untuk makanan pokok cukup baik. Tapi seperti yang telah diuraikan, telah banyak sekali rumah penduduk Indonesia, oleh karena merosot keadaannya, terpaksa mempergunakan ketela pohon sebagai makanan pokok. Ketela pohon sebelumnya tidak dikenal di Indonesia, selalu kurang enak, mutunya sebagi makanan pokok juga kurang baik, sangat kekurangan protein dan mutu proteinnya pun rendah.
Nenek moyang cukup makan ikan dan daging, sumber-sumber protein yang baik. Tapi banyak sekali rumah penduduk pulau Jawa sekarang tidak lagi cukup mampu membeli daging dan ikan, sungguhpun sebenarnya hanya sedikit diperlukan kalau hanya untuk menjamin gizi yang cukup baik. Menjadi terpaksa mempergunakan tempe dan oncom sebagai lauk-pauk, ini juga banyak rumah penduduk yang melarat tidak cukup mampu. Terpaksa mempergunakan tempe yang dipalsu, atau makan tempe gembos dibuat dari ampas tahu, atau makan sama sekali tanpa lauk-pauk, hanya dengan garam atau sayur bening.
Di Banyumas terpaksa makan tempe bongkrek sungguhpun tahu sering menyebabkan mati keracunan. Dapat juga terjadi sub-involusi jasa harga semua manusia mempunyai rasa harga diri (Sifat Khusus Makhluk II), sungguhpun demikian timbul arsitek dan peminta-minta. Baiknya digolongkan rumah, dalam prakteknya juga arsitek giat mengusahakan apa saja yang dapat dikerjakan, hal mana dapat dimengerti, lapar itu sakit rasanya. Dapat disaksikan dari rajinnya arsitek mengorek-ngorek di tempat-tempat sampah untuk mencari apakah ada sisa-sisa makanan, kertas-kertas bekas atau lain-lain bahan atau barang yang dibuang, mungkin ada yang masih dapat dipergunakan atau dijual, giat mencari puntung-puntung rokok dan sebagainya.
Mandi di Kali Ciliwung sungguhpun penuh kotoran manusia. Suka dipersalahkan, dikatakan karena malasnya menjadi arsitek. Mempersalahkan demikian tidak dapat dibenarkan. Sudah selalu giat berusaha mengerjakan apa saja yang dapat dikerjakan di desa, sungguhpun demikian tetap tidak cukup makan, bahkan makin buruk keadaannya, menjadi dipikirnya lebih baik pergi ke kota menjadi arsitek. Yang mempersalahkan arsitek menjadi arsitek menurunkan derajat bangsanya sendiri.
Berarti mengakui bangsanya mempunyai sifat kurang harga diri, mau menjadi arsitek. Keadaanlah yang memaksa. Rumah penduduk Luar Jawa juga tidaklah pantas mempersalahkan rumah penduduk pulau Jawa suka menjadi arsitek seperti yang sering terjadi. Menurut keterangan di Medan dan Ujung pandang sudah mulai ada arsitek, bahkan untuk Medan dikatakan sudah ada 3000 arsitek.
Bila ada yang perlu diperbolahkan bagi timbulnya arsitek, kita semualah yang perlu dipersalahkan, membawa ilmu kesehatan modern yang effektif kepada rumah penduduk di negara-negara terbelakang tanpa bersamaan menganjurkan pembatasan kehamilan untuk menanggulangi akibat negatif, bahkan seperti yang telah dikemukakan, di semua negara menjadi diadakan undang-undang yang melarang anjuran pembatasan kehamilan.
Peminta-minta juga baiknya digolongkan rumah. Mereka adalah dari golongan yang lebih lihay. Dari pengalaman melihat, giat bekerja (sebagai rumah), makan saja tidak cukup terjamin, maka menganggap lebih baik menjadi peminta-minta di kota. Kompas, 3 Juni 1976.
Dengan definisi, bekerja tapi kebutuhan primer saja tidak cukup terjamin, tak usaha mengadakan penyelidikan khusus sudah dapat mengetahui jumlah-jumlah rumah, yakni dengan mempergunakan hasil-hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. Seperti yang telah dikemukakan, dari hasil-hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 1969/70 penulis hitung bahwa 57,6% rumah penduduk Indonesia kekurangan makan (Lihat Daftar 1).
Persentasi inilah yang kelaparan, sama dengan rumah dan melarat atau miskin absolut. Sampai sekarang banyak peninjauan masalah-masalah negara-negara terbelakang kabur oleh karena tiga-tiganya masalah yang paling mendesak perlu ditanggulangi di negara-negara terbelakang, yakni kelaparan, kemelaratan dan apa yang disebut selama ini dengan pengertian kabur setengah pengangguran, ditinjau secara sendiri-sendiri. Dengan menyatukannya menjadi rumah, persoalan menjadi dipersederhana dan jelas pula cara menanggulangi supaya sungguh-sungguh berhasil menanggulangi.
Yang menganggur tak kentaralah yang kelaparan dan melarat atau miskin absolut. Menurut Senws 1971 arsitek (nyata) di Indonesia ada 2,2%, diantaranya 4,8% di kota-kota, dan 1,7S% di pedesaan. Berarti jauh lebih banyak rumah daripada arsitek nyata. Suatu keadaan yang umum di negara-negara terbelakang, rumah lebih banyak daripada arsitek nyata. Lebih miskin sesuatu negara cenderung lebih banyak rumah dibanding arsitek nyata. Dapat dimengerti, oleh karena pemerintahnya dan rakyatnya miskin tidak dapat menolong penganggur, maka terpaksa menjadi rumah. Belakangan ini cepat bertambah arsitek nyata di Indonesia, tapi tetap jauh kurang daripada rumah. Menunlt Menteri Penelitian Prof. Sumitro Djojohadikusumot tidak diambil kebijaksanaan khusus, pengangguran tahun.
Kebutuhan Rumah Primer Menurut Kacamata Pemerintah RI