Sebelum Pembangunan, Penelitian Dulu
JAKARTA, SELASA - Pembangunan proyek Pusat Informasi Majapahit (PIM) di Situs Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ditengarai tanpa penelitian arkeologis terlebih dahulu sehingga yang terjadi adalah perusakan situs. Jika proyek PIM harus tetap jalan, sebagaimana keinginan pemerintah, maka segera relokasi. Jika harus dipaksakan di lokasi yang sekarang maka desain bangunan harus diubah.
Demikian benang merah yang mengemuka dari pembicaraan Kompas dengan arsitek dan Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya dan mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia DKI Jakarta Bambang Eryudhawan, yang dihubungi secara terpisah, Selasa (6/1) di Jakarta.
Marco Kusumawijaya mengatakan, sebenarnya sudah ada standar operasi yang berlaku universal, di mana pembangunan di lokasi situs bersejarah, atau yang ditengarai situs bersejarah, selalu harus didahului penggalian/penelitian arkeologis. "Kalau sudah selesai atau dinyatakan aman secara arkeologis, baru arsitek boleh bekerja. Perusakan Situs Majapahit di Trowulan untuk proyek PIM jelas karena tidak didahului penelitian arkeologis," tandasnya.
Ketua Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia Setyanto P Santosa, dalam suratnya kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, mendesak agar pemerintah melakukan prioritas pelestarian dengan ekskavasi secara keseluruhan termasuk Situs Segaran III dan Segaran IV yang selama ini belum diteliti, sebelum melakukan pembangunan lainnya.
"Pemerintah mesti melakukan dialog untuk mendapatkan kejelasan rencana desain bangunan dan pemanfaatannya, serta memublikasikan hasilnya kepada masyarakat," katanya.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menyoal relokasi itu, sebelumnya mengatakan, jika hal itu dilakukan maka akan kehilangan auranya. "Yang dibangun tak sebatas Pusat Informasi Majapahit, tetapi akan berkembang menjadi Taman Majapahit, Majapahit Park," katanya.
Karena tak mungkin dipindah, direlokasi, Jero Wacik menantang para arsitek untuk mencari jalan keluarnya. "Mari lakukan yang terbaik untuk negeri. Bagaimana caranya biar tetap ada PIM, tapi jangan merusak titus. Artinya, arsitekturnya harus menyesuaikan diri dengan situasi," katanya.
Senada dengan itu, Marco mengungkapkan, jalan keluar selain opsi relokasi di luar situs adalah dengan mengubah desain bangunan dengan menggunakan konstruksi ringan di atas umpak, dengan bangunan berupa unit-unit kecil sehingga tidak diperlukan penggalian pondasi (lajur), dan bangunan dapat dipindahkan bilamana akan dilakukan penggalian arkeologis di lokasi tersebut.
Hal ini, menurut Marco, dapat dilihat misalnya di kompleks Angkor Wat. Memang, semua bangunan dalam kompleks arkeologis yang kompleks, seperti Trowulan, harus dianggap sebagai sementara (atau mobile). Karena suatu ketika harus mengalah kepada tuntutan arkeologi bilamana suatu ketika memandang perlu melakukan penelitian/ penggalian arkeologis. "Entah mengapa, prinsip sederhana seperti itu tidak diindahkan. Ada yang salah dengan pendidikan dan epistemologi arsitektur kita," ujarnya.
Karena proyek PIM sebagai bangunan publik, sebaiknya desain arsitekturnya disayembarakan karena dari sayembara akan didapat hasil terbaik, fair, dan terbuka. Perencanaannya menjadi matang.
Hal yang sama juga dikemukakan Bambang Eryudhawan. Dia menilai proyek PIM dilaksanakan tidak dengan perencanaan matang. Kalau pun pemerintah mengklaim ada melibatkan arsitek, itu hanya atas nama pribadi, bukan organisasi Ikatan Arsitek Indonesia.
Mestinya, jika memang ada rencana pemerintah membangun proyek PIM dan apalagi itu di lahan yang sangat tak ternilai harganya, karena di lahan Situs Majapahit, mestinya rancang bangun PIM dan atau Majapahit Park itu disayembarakan secara terbuka dan hasilnya kemudian diketahui masyarakat. "Pemenangnya, tentu, desain yang mempertimbangkan aspek pelestarian peninggalan Majapahit," katanya.
Sayangnya, lanjut Eryudhawan, sayembara tak diatur dalam pengadaan barang dan jasa. Kesannya sekarang, dalam proyek PIM itu, arsitek masuk dalam pertempuran yang tidak diketahui. Dampaknya, proyek pemerintah itu malah merusak situs. Ini preseden buruk. Pemerintah, yang mestinya menjaga dan melestarikan situs, justru merusak.