Menanti Terwujudnya Arsitektur Ramah Lingkungan
JAKARTA, KOMPAS.com - Dunia desain interior Indonesia yang mulai berkembang pada era 1980-an kini telah berubah dengan cepat mengikuti tren desain interior yang juga bergerak cepat. Sebelum tahun 1985, menurut desainer interior Siti Adiningsih Adiwoso, tren desain interior yang sebelumnya diperkirakan akan berubah tiap 10 tahun, menjadi berubah setiap lima tahun sekali.
Perubahan tersebut semakin cepat ketika memasuki tahun 2000. Sejak tahun itu, perubahan tren desain interior terjadi setiap 30 bulan. Perubahan tren tersebut juga diikuti dengan pekembangan teknologi yang digunakan. Teknologi digital generasi terbaru serta perusahaan yang dituntut lebih efisien, mewarnai perkembangan desain interior.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada sekitar tahun 1997-1998, kata Siti, juga berpengaruh terhadap perkembangan desain interior di negeri ini. Para desainer serta konsumen menghadapi dilema akibat naiknya harga berbagai material.
Memasuki tahun 2006, perkembangan dunia desain interior turut pula dipengaruhi oleh perubahan iklim global. Menurut Siti, terjadinya pemanasan global atau global warming menuntut para arsitek untuk menghasilkan karya desain yang ramah lingkungan atau lebih dikenal dengan rancangan hijau atau "green design".
Siti Adiningsih Adiwoso mengatakan, para arsitek Indonesia harus berani menjadi agen pembangunan dalam terciptanya desain arsitektur yang ramah lingkungan. "Desainer interior atau arsitek dalam negeri jangan hanya berorientasi terhadap uang, dan tidak mau tahu desain yang ramah lingkungan," katanya.
Ia menilai, penerapan "green design" dalam perkembangan zaman, sesungguhnya sangat mudah diterapkan. Ia mencontohkan, dengan memperbanyak penggunaan kaca pada sebuah bangunan agar sinar matahari dapat masuk ke dalam.
"Banyak cahaya yang masuk akan mengurangi konsumsi listrik untuk lampu," kata Presiden Direktur PT Asri Desindo Intiwidya itu.
Ia menjelaskan, konsep tersebut sesuai dengan tren desain interior yang saat ini berkembang di Indonesia, yakni bercahaya, transparan, mudah dipindahkan, dan berwarna-warni.
Selain itu, Ketua Asosiasi Toilet Indonesia ini juga mengharapkan, para desainer Indonesia dapat menjaga identitas lokal negeri ini. "Para desainer boleh tetap bebas dalam berekspresi, namun harus tetap lokal sebagai identitas masa depan," katanya.
Menurut dia, jangan sampai kasus klaim motif batik oleh Malaysia terjadi lagi. "Kalau ada yang mencuri karya kita, baru kita teriak. Kita harus lebih sadar untuk menjaga," katanya.
Ia juga mengritik desain bangunan modern di Jakarta yang belum mengacu pada bangunan ramah lingkungan atau "green building". "Masalahnya ada pada klien yang meminta macam-macam," katanya.
Pendapat serupa juga disampaikan desainer muda Leonard Theosabrata. Menurut dia, para desainer harus kembali sadar atas pentingnya desain yang ramah lingkungan. "Green design ini merupakan suatu keharusan. Mau atau tidak, hanya masalah waktu menuju ke sana," katanya.
Sosial Ekonomi
Leonard Theosabrata juga mengakui, sedikit banyak tren desain dalam negeri dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi. "Model yang dipilih para klien tidak terlepas dari faktor latar belakang sosial serta ketersediaan dana," katanya.
Namun, menurut dia, yang terpenting dalam desain ramah lingkungan ini yakni adanya pengertian antara desainer dan pelanggan sebagai pengguna jasa.
"Hal terpenting ialah meningkatkan kesadaran desaner dan klien tentang arti penting green desain," katanya.
Ia menambahkan, desainer interior Indonesia masih memiliki peluang besar untuk menunjukkan kemampuan dan berkarya di dalam negeri. Ia menuturkan, peluang para desainer Indonesia untuk berkarya di dalam negeri cukup besar, mengingat belum banyak desainer asing yang bekerja di negeri ini.
"Kesempatan masih luas bagi desainer Indonesia untuk membuktikan diri," katanya,
Menurut dia, jika para desainer Indonesia justru memilih untuk berkarya di luar negeri, maka mereka justru akan sulit menujukkan kemampuannya, karena persaingan yang cukup ketat. Ia mengakui, para desainer lokal masih terbawa dengan gaya dan desain dari luar. "Desainer Indonesia memang sudah mulai kembali pada tren desain lokal, namun masih belum cukup," katanya.
Menurutnya, gaya desainer dalam negeri boleh saja tetap mengadopsi model dari luar, namun esensi dari produk lokal jangan sampai hilang.