Kasus PIM, UU Arsitek Perlu Dibuat
BANDUNG, SENIN - Kasus dugaan perusakan benda cagar budaya terkait pembangunan Pusat Informasi Majapahit di Trowulan menjadi cerminan pentingnya pembuatan payung hukum, yaitu undang-undang arsitektur. Ini salah satunya untuk memperjelas tanggung jawab karya arsitektur.
Hal itu diungkapkan Woerjantari K Soedarsono, arsitek dari Pusat Studi Urban Desain Institut Teknologi Bandung. Menurutnya, keberadaan UU ini dapat pula memperjelas posisi arsitek. Sebab, selama ini, ketika terjadi polemik karya arsitek, hal itu biasanya sulit diselesaikan. Pertanggungjawabannya pun tidak jelas.
Sebetulnya, setiap arsitek, apabila ragu-ragu terhadap suatu proyek, mereka bisa menolak atau mempertimbangkan perlunya evaluasi mendalam terlebih dulu. "Tetapi, di kita, ini semua sulit karena memang tidak ada payung hukumnya," ujar arsitek senior dari Jurusan Arsitektur ITB ini. Polemik pembangunan PIM yang karyanya dibuat rekannya, Baskoro Tedjo, adalah contoh yang aktual.
Padahal, di luar negeri, ucapnya, seorang arsitektur itu bisa dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila ada karyanya yang merugikan klien ataupun kepentingan masyarakat umum. Ini seperti halnya malpraktik pada profesi kedokteran.
Karena tidak adanya payung hukum, ungkap Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat Pon S Purajatnika, pelaksanaan sertifikasi (lisensi) profesi arsitek pun diterapkan berbeda-beda di daerah. Tidak setiap pemerintah daerah melaksanakan sistem lisensi ini. Padahal, penerapan lisensi yang mengacu International Union of Architecs ini turut pula mendorong pelaksanaan kode etik profesi arsitek.***